skip to main |
skip to sidebar
Selasa, 7 September 2010 - 09:42 wib
BERITA mengenai rencana pembangunan Gedung Baru Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) senilai lebih dari Rp1 triliun sungguh membuat hati kita tersentak.
Di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi sebagian besar rakyat Indonesia yang terkategorikan penduduk miskin, di saat masih banyaknya anak Indonesia yang belum dapat menikmati pendidikan layak, DPR malah akan membangun monumen yang begitu megah di Senayan, Jakarta, sebagai gedung baru para wakil rakyat. Gedung itu bukan hanya megah yang memungkinkan setiap anggota Dewan memiliki ruangan lebih dari 100 meter persegi per orang, tetapi juga tersedia tempat-tempat bersantai.
Ini menambah gerah sebagian kalangan yang peduli pada masa depan demokrasi di Indonesia dan mereka yang menjadi pengamat kinerja parlemen. Alasan pembangunan gedung baru DPR ini didahului dengan berita-berita mengenai betapa berbahayanya para anggota Dewan menempati gedung lama yang katanya sudah tua dan miring tujuh derajat sebagai akibat dari gempa bumi beberapa waktu lalu. Selain itu, gedung lama yang ada juga sudah tidak mampu memberi ruang yang nyaman bagi para anggota Dewan dan tidak mampu memberi tempat bagi para staf ahli Dewan.
Sementara kita tahu dari laporan kehadiran betapa banyak anggota Dewan yang mangkir dalam rapat-rapat, mulai dari rapat komisi, sidang pansus sampai ke sidang paripurna. Tambahan lagi, disinyalir para anggota Dewan juga tidak serius untuk mendapatkan bantuan dari staf ahli karena sistem perekrutan para staf ahli tersebut seakan kurang memperhitungkan sistem merit dan lebih mengutamakan pendekatan kekeluargaan atau nepotisme. Pendek kata, di mata masyarakat secara umum citra DPR begitu buruk. DPR periode 2009–2014 juga dinilai paling buruk kinerja tahun pertamanya dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya.
Buruknya kinerja Dewan dapat dilihat dari kehadiran anggota Dewan, kualitas dialog di DPR, jumlah rancangan undang-undang (RUU) yang digodok menjadi undang-undang (UU), bagaimana diskusi-diskusi pada rapat-rapat komisi dengan para mitra kerjanya di pemerintahan, dan kualitas produk yang dihasilkan Dewan. Tidak sedikit orang yang bertanya, mengapa rencana pembangunan gedung baru DPR itu baru muncul sekarang? Apakah itu tidak diproses secara terbuka pada rapat-rapat persiapan RAPBN antara Dewan dan pemerintah? Jika sudah melalui proses politik anggaran yang benar, pertanyaan yang muncul kemudian ialah, mengapa pemerintah dan Dewan sepakat untuk menganggarkan dana yang aduhai besarnya untuk membangun monumen yang amat megah itu?
Jangan-jangan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyenangkan hati para anggota Dewan agar yang terakhir ini tidak lagi bersikap kritis terhadap pemerintah. Ada pula isu bahwa pemerintah saat ini memang giat menggelontorkan uang ke DPR agar persoalan skandal Bank Century tidak berlanjut. Politik uang bukan hanya terjadi antara para politikus calon anggota Dewan dan para konstituennya saja, melainkan juga antara eksekutif dan legislatif. Malah ada juga isu bahwa praktik politik anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBN-P) seringkali menjadi bagian dari politik bagi-bagi rejeki dari instansi pemerintah terhadap anggota Dewan di komisi-komisi yang menjadi mitra instansi pemerintah tersebut.
Sebagai contoh, jika pemerintah mengajukan anggaran Rp100 miliar untuk proyek tertentu, segelintir anggota Dewan akan menaikkannya menjadi tiga kali lipat asalkan ada uang persentase bagi para anggota Dewan tersebut. Praktik semacam ini menjadi bagian dari cerita yang sering kita dengar di seputar Gedung DPR. Kembali ke soal gedung baru DPR, tidak sedikit komentar dan kritik dari berbagai kalangan mengenai hal itu, termasuk dari kalangan Dewan sendiri. Pembangunan gedung tersebut, seperti diutarakan seorang pengamat politik senior Mochtar Pabottingi, ibarat membangun “monumen penghianatan” karena itu menafikan penderitaan yang masih dialami sebagian besar rakyat Indonesia.
Kini kita tunggu saja apakah pembangunan gedung baru tersebut akan terus berlanjut ataukah ditunda sampai negara benar-benar memiliki kelebihan dana yang dapat diperuntukkan bagi pembangunan gedung berskala besar dan mahal seperti itu? Sensitivitas para pimpinan dan anggota Dewan yang terhormat kini sedang diuji, apakah mereka masih memiliki hati nurani atau tidak?
Mana yang lebih urgen, pembangunan gedung baru atau meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan, kesehatan, serta ketenagakerjaaan di republik yang kita cintai ini? (*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar